Minggu, Oktober 11, 2009

Budaya Bali


BUDAYA

Budaya masyarakat Bali tidak jauh bergerak dari interaksi dengan alam lingkungannya. Olah pikir manusia Bali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya lahir batin hampir seluruhnya adalah gambaran dari paduan nalar dengan potensi alam sekitarnya.

Membaca Pesan Alam
Soal arsitektur misalnya, hunian masyarakat Bali di pegunungan Kintamani tentu tidak akan sama dengan perumahan masyarakat Bali di daerah dataran Gianyar maupun di daerah pesisir Kuta kendati iklim dan cuaca tidak jauh berbeda. Sirap bambu lebih diminati sebagai bahan atap di daerah pegunungan Kintamani karena, selain perlindungan pada udara dingin, sebagian pegunungan Kintamani ditumbuhi oleh tanaman bambu. Sedangkan daerah dataran dan pesisir lebih memilih alang-alang sebagai penutup atap karena bahan itulah yang disediakan oleh alam sekitarnya.

Tak hanya soal bangunan saja budaya manusia Bali amat beragam. Di pulau kecil ini, perilaku manusianya memiliki ciri tersendiri dalam melakoni kesehariannya mereka. Tatacara bicara, bahasa, dialek dan sikap berkomunikasi amat jelas menunjukkan asal wilayahnya. Dalam perilaku melaksanakan agama dan berkesenian pun tampak warna-warna lokal yang amat menonjol dari masing-masing wilayah di Bali.

Desa Kala Patra, tempat waktu dan keadaan, tiga unsur inilah yang akhirnya terlihat sebagai unsur pembentuk beragamnya perilaku manusia Bali dalam menjalani kesehariannya. Walaupun kemasan budaya manusia Bali tampak memiliki ciri khas masing-masing wilayah namun tujuannya terpusat ke satu arah, yaitu persembahan. Dalam bait sastra pun mereka menemukan pembenaran atas perbedaan yang memiliki satu tujuan.

Keseharian Manusia Bali

Masyarakat Bali, khususnya pemeluk agama Hindu adalah masyarakat yang unik. Semakin unik perilaku itu bila teropong lebih diarahkan pada sikap manusia Bali di era kini. Seolah biasa, seorang gadis Bali menari dengan gemulai dan nanti di Banjar atau Pura, bahkan di sebuah hotel, padahal sore sebelumnya dia bekerja sebagai pekerja biasa misalnya pedagang atau melakoni pekerjaan lainnya.

Perilaku seperti itu tampak seperti sosok yang memiliki dua kepribadian namun sebenarnya penduduk Bali lebih memandang hal itu sebagai lakon dalam menjalani keseharian, sebagai usaha dalam membangun karma. Karenanya amat mungkin seorang wanita pedagang yang “tak berarti” di tengah kerumunan pasar, sesaat kemudian akan menjadi pusat perhatian sebagai penari Rejang saat persembahan dalam suatu upacara di pura.

Bila ditelusuri perilaku demikian amat mungkin terjadi karena tatanan atau struktur masyarakat Hindu Bali. Tidak hanya pola pelapisan masyarakat warisan Majapahit saja yang dianut secara penuh namun adapt istiadat setempat pun memberi warna pada penataan masyarakat Bali. Inilah yang menyebabkan sering ditemukan tatanan yang berbeda dari satu desa dengan desa yang lainnya namun memiliki keterikatan sama dalam satu model tatanan Desa Adat.

Arsitektur Bali

Arsitektur, meskipun dapat dikategorikan dalam senirupa, pada kenyatannya memerlukan keahlian artistik yang mensyaratkan keahlian memadukan aspek-aspek teknis, ruang dan keindahan untuk kesempurnaan hasilnya. Dipengaruhi oleh tuntutan fungsi-fungsi yang melekat didalamnya, seni arsitektur kemudian berkembang dinamis, melahirkan bentuk dan wajah yang beragam. Arsitektur harus mampu memenuhi salah satu dari 5 kebutuhan dasar manusia (sandang, pangan, papan, ruang kegiatan arsitektur, kesehatan dan pendidikan) dengan memadukan keahlian teknis dan ketajaman rasa.

Lebih khusus lagi Arsitektur Tradisional Bali tidak saja menganut pakem seni, teknis dan rasa ruang namun didalamnya terkandung pula tatanan filosofi adat dan agama Hindu. Prosesi mengolah bahan bangunan misalnya kayu yang berasal dari pohon tertentu sampai menjadi elemen bangunan merupakan tahap-tahap yang mesti dilakoni dengan nilai filosofi, adat dan agama. Pohon dengan ketinggian tertentu yang saat ditebang menimpa sungai, misalnya, tidak bisa dipergunakan sebagal bahan bangunan karena akan menimbulkan akibat buruk baik pemakainya. Aturan adat dan agama seperti ini pada hakekatnya adalah untuk memberi perlindungan terhadap alam lingkungan sehingga kelestarian akan terjaga.

Arsitektur Tradisional Bali memiliki sangat banyak aturan, tatanan adat dan filosofi agama yang mesti dipahami dan dianut oleh seorang arsitek tradisional (arsitek Bali disebut Undagi). Karena itu, seorang Undagi pada dasamya adalah manusia utama yang mampu memahami seni, komposisi, proporsi, teknis, rasa ruang, filosofi agama, aturan adat (awig- wig) dan bahkan sepatutnya memahami puja mantra karena sang Undagi juga berhak melakukan prosesi keagamaan saat memulai pekerjaan (upacara Ngeruak Karang), masa pelaksanaan hingga peresmian bangunan (upacara Pamelaspas). Dalam mewujudkan rancangannya, sang Undagi dibantu oleh tenaga pelaksana yang ahli dibidangnya seperti tukang batu, kayu, struktur dan tukang ukir yang disebut Sangging.
Jika di Bali terlihat bentuk bangunan yang beraneka ragam, hal itu disebabkan karena fungsi, pemakai dan daerah yang berbeda. Semua aturan dan tatanan mengenai arsitektur tradisional Bali terhimpun dalam naskah kuno berupa lontar, antara lain: Asia Bhumi, Asia Kosala dan berbagai lontar tentang tata cara pelaksanaan upacara pada bangunan.

Seni Rupa Bali

Seni lukis dan seni patung maupun seni pahat atau ukiran ini terbagi dalam dua bagian, yaitu berlanggam klasik dan modern. Langgam klasik sangat terlihat bercorak pewayangan, baik bentuk maupun tema yang diketengahkan dalam lukisan atau pahatan tersebut. Lukisan gaya klasik Bali hanya terdapat di desa Kamasan, Klungkung. Lukisan model Kamasan mengambil bentuk dan tema pewayangan dengan penggunaan warna-warna yang cerah. Lukisan gaya Kamasan di langit-langit Bale Kertagosa dan Taman Gii Klungkung adalah peninggalan jaman kerajaan Klungkungyang menyodorkan tema pewayangan Mahabarata. Masih berpegang pada langgam pewayangan, seni patung, pahat dan ukir klasik, menunjukkan gaya yang sama dengan tampilan tiga dimensi. Sedikit berbeda dengan seni lukis klasik, seni pahat agak berkembang karena kebutuhan dan cabang seni lain seperti misalnya seni tari topeng, wayang wong, dan juga bidang arsitektur. Pada perkembangan berikutnya, masuknya pengaruh luar pada jaman penjajahan Belanda, muncul gaya seni lukis modern. Tidak saja tema, namun gaya coretan dan penggunaan media pun lebih, bervariasi. Gaya Ubud, Pengosekan, KeIiki dan Batuan adalah pelopor munculnya seni lukis gaya modern. Seniman Bali tamatan sekolah seni, baik di Bali maupun di luar bali, memberi warna baru dalam perkembangan seni rupa. Dan gerakan inilah, dunia seni rupa Bali mengalami perkembangan, terutama akibat sering bersentuhan dengan pariwisata yang menyebabkan semakin tumbuh menjamurnya sarana gallery dan toko seni sepanjang kawasan wisata.

Seni Dari Persembahan ke Pertunjukkan

Sering dikatakan oleh para pakar seni budaya bahwa seni dan budaya Bali cenderung diciptakan sebagai suatu persembahan kepada maha pencipta diwarnai dengan rasa pengabdian yang tinggi terhadap seni tersebut. Jika suatu karya seni tradisional mampu menimbulkan getaran taksu atau memancarkan daya tarik maka hal itu bisa dipahami karena saat menciptakannya didorong oleh keinginan untuk mempersembahkan karya yang baik, jauh dari pikiran ego hak cipta dan nilai jual.

Karya seni dan budaya Bali pada awalnya muncul sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan oleh kelompok profesi tertentu dalam upaya mempersembahkan bakti yang sempurna kepada Tuhan lewat kegiatan keagamaan. Tarian dan karawitan diciptakan untuk mengungkap ekspresi kebahagiaan menyambut turunnya para Dewata disaat upacara di Pura, seni rupa yang diterjemahkan dalam lukisan dan pahatan selalu tampil dalam berbagai kelengkapan sajen sebagai media untuk menyambung komunikasi spiritual sedangkan nyanyian kidung dikumandangkan untuk mengungkapkan puja dan puji atas kesejahteraan yang dilimpahkan oleh para Dewata.

Manusia Bali, selain pelaku seni, juga adalah penikmat seni yang amat fanatik pada keseniannya. Dalam seni teater, berbagai lakon yang melandasi penciptaan seni dikemas dengan baik sehingga mudah dinikmati dan disimak untuk mengisi wawasan berpikir mereka. Para pemimpin di maSa lalu pun sigap melihat kegiatan seni sebagai media yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kepada rakyat. Tak ayal seni sastra berkembang pesat memberi arah tujuan yang jelas kepada cabang seni lainnya. Karenanya, hampir di semua cabang seni, kemudian terjadi pemilahan secara jelas antara seni sakral hingga ke profan, dan seni persembahan ke seni pertunjukan.

Seni budaya Bali, sejak jaman sejarah, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan keseharian masyarakat Bali. Ketika jaman kekuasaan raja-raja amat kuat, berbagai cabang seni budaya merupakan kelangenan raja dan keluarga istana. Saat pola pemerintahan dan kehidupan rakyat Bali semakin mantap pada dasar filosofi agama Hindu, seni budaya Bali pun bergeser ke arah seni persembahan.

Dalam berbagai format keseharian penduduk Bali, seni budayanya senantiasa menandai jaman. Tak terpungkiri, pada akhrnya, seni budaya Bali mampu meredam dan mampu tetap tumbuh dalam berbagai gejolak jaman. Pada jaman penjajahan Belanda sekali pun, seni budaya Bali tetap tumbuh mengikuti jaman. Arsitektur, seni rupa, seni tari, seni karawitan dan berbagai cabang seni lainnya seolah tak luput dengan adanya perang Puputan di Badung , Klungkung dan Margarana di Kabupaten Tabanan.

Seni arsitektur Bali dengan ramah menenima pengaruh estetika luar. Bale Maskerdan di Puri Karangasem, Patra Wolanda, Patra Gina, dan Patra Kuta Mesir adalah bentuk-bentuk ornamen luar yang secara manis diserap oleh para undagi. Seni tari, seni karawitan dan seni rupa bahkan dikenal uleh dunia luar pada masa-masa penjajahan Belanda di Bali.

Saat kontak dengan bangsa asing di Bali memasuki era pariwisata di pertengahan dasa warsa 1960, secara pelan tapi pasti berbagai sarana hiburan wisatawan mulai ditampilkan untuk kepentingan pariwisata. Seni budaya Bali pun dikembangkan dan di redesign lagi untuk kepentingan pariwisata. Kemasan seni pentas (tari dan karawitan), tak lagi mengacu pada pesan dan cerita yang hendak disampaikan namun bergeser pada kemasan yang berpacu dengan waktu.

SeniTari
Seni Tari di Bali benkait erat dengan prosesi keagamaan. Bahkan layak dipercaya bahwa usia pakem tari sama tuanya dengan penetapan tatanan agama Hindu. Dewa Ciwa yang dipercaya oleh umat Hindu sebagai Sang Hyang Tunggal digambarkan pula sebagai. “Dewa Tari” dengan gelar Ciwa Nataraja dalam sikap gerakan tari yang diartikan sebagai gerakan kekuatan mengisi ruang saat menciptakan alam semesta.

Pada awalnya, tari-tarian yang ditekuni oleh para pragina (penari) adalah jenis tarian sakral sebagai bagian tak tenpisahkan dengan prosesi upacara dan hanya dipegelarkan tatkala diselenggarakan upacara keagamaan di Pura. Selanjutnya tumbuh pula jenis tarian yang merupakan pelengkap suatu prosesi keagamaan dan bahkan lebih jauh berkembang menjadi media komunikasi masyarakat sekaligus sebagai sarana hiburan.

Dari jenis dan fungsinya; seni tari dalam anti luas berikut seni karawitan (gamelan) yang mengiringinya dapat dipilah dalam 3 kelompok. yaitu:

Tari Wali (Religius)
Merupakan jenis tari berikut karawitan yang dipentaskan sehubungan dengan dilaksanakan suatu upacara keagamaan di suatu Pura. Tari Wali/sacral ini umumnya dipentaskan di halaman tengah Pura (Jeroan/Purian) dan tidak akan dipentaskan pada acara-acara lainnya. Perangkat tari sepenti busana, topeng atau juga barong sangat dikeramatkan oleh warga penyungsungnya senta disimpan di suatu Pura sehingga dipersyaratkan adanya upacara khusus saat diambil dari tempat penyimpanannya, saat ditarikan serta di simpan kembali pada tempatnya.

Salah sawtu contohnya adalah Tari Topeng Sang Hyang atau Sang Hyang Topeng yang ada di Desa Ketewel, Gianyar. Topeng-topeng yang menggambarkan wajah wanita ini membuatnya di juluki Topeng Widyadari. Tarian ini hanya dipentaskan setiap 6 bulan sekali oleh anak-anak wanita saat upacara pada Budha Wage Pagerwesi. Berbeda dengan topeng pada umumnya di Bali yang menggunakan tali pengikat di kepala saat digunakan, topeng Sang Hyang menggunakan canggem sebagai penahan yang harus digigit oleh penarinya harus menggunakan selembar kain ditangan kanannya untuk membantu memperbaiki posisi topeng saat menari jika diperlukan.
Jika tari Topeng Sang Hyang ditarikan oleh anak-anak (belum menstruasi), di Pura Samuan Tiga Bedulu- Gianyar saat diselenggarakan upacara selalu digelar tari sutri atau tari Rejang yang ditarikan oleh para Sutri, yaitu wanita- wanita tua yang sudah lanjut usia yang tidak lagi mengalami menstruasi (monopouse). Dari dua contoh diatas tergambar bahwa tari sakral tidak saja mensyaratkan tempat dan perangkat yang suci namun juga penarinya.

Seni Bebali (Ceremonial)
Tari Bebali merupakan jenis tari Bali yang juga digelar pada suatu upacara keagamaan dan umumnya tari Bebali dipentaskan dengan suatu lakon yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut. Tari Topeng Pajegan, Topeng Panca, Drama Tari Gambuh dan Wayang misalnya, adalah jenis tari Bebali yang paling sering dipentaskan. Sebagai pengiring suatu upacara. Tari Bebali biasanya dipentaskan di Jaba Tengah yang merupakan ruang diantara halaman luar (Jaba Sisi) dengan halaman utama (Jeroan) suatu Pura.

Ta Balih-balihan (performance)
Seni Balih-balihan merupakan perkembangan dari seni Wali dan Bebali yang ditujukan sebagai sarana hiburan dengan lakon serta kreasi tari dan tabuh yang lebih bebas. Seringkali jenis balih-balihan ini memakai lakon-lakon yang populer di masyarakat saat itu untuk membuka kesempatan masuknya emosi penonton kedalam pergelaran tersebut merupakan bagian yang sama pentingnya dengan penari dan penabuh pada biasa disebut wewalen. Sama halnya dengan tari, karawitan pun memiliki tingkatan sakral hingga profan yang menentukan fungsinya dalam pementasan.

Seni Kerajinan

Bergelut di bidang seni ternyata tak hanya semata berputar di sekitar rasa puas melakukan persembahan. Secara pasti seni rupa dan kriya menjadi seni terapan yang akhirnya dibutuhkan oleh masyarakat dan juga oleh wisatawan sebagai cinderamata. Kerajinan anyaman, ukiran dan pahatan kian lama semakin menjadi kebutuhan dalam keseharian masyarakat Hindu di Bali. Sokasi dufang, bokor, gerabah, dan juga berbagai perlengkapan upacara lainnya kini menjadi ladang penghidupan bagi sebagian masyarakat Bali.

Di sisi lain, kreasi dan pengembangan barang-barang seni tersebut ternyata amat diminati oleh wisatawan yang datang ke Bali. Kerajinan emas, perak, patung dan ukiran kayu bahkan sejak lama sudah mampu menembus pasar internasional. Dengan sentuhan artistik Bali, berbagai jenis barang seni dan barang kerajinan memang mampu memberi peluang peningkatan perekonomian masyarakat Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar